OPINITERKINITRENDING

Suka Duka Debt Collector alias Si Mata Elang

Oleh: Azis Chemoth

Opini_Gksbasra.id, Dalam dunia pembiayaan kendaraan, istilah “si mata elang” atau debt collector sudah tak asing lagi. Mereka adalah ujung tombak perusahaan leasing untuk memastikan cicilan kendaraan tetap berjalan lancar. Tugas mereka sederhana tapi tak ringan: mencari, menegur, menagih, bahkan menyita kendaraan dari nasabah yang menunggak.

Namun menjadi debt collector bukan sekadar soal menagih. Di balik julukan “mata elang” yang terdengar garang, ada suka dan duka yang tidak semua orang tahu.

Sukanya?
Bagi sebagian orang, pekerjaan ini menawarkan penghasilan yang cukup menjanjikan, apalagi jika berhasil menemukan kendaraan bermasalah. Ada semacam kebanggaan ketika berhasil “mengendus” kendaraan yang sudah lama tak terlacak. Di dunia yang keras, menjadi mata elang memberi rasa berdaya merasa penting, dibutuhkan, bahkan ditakuti.

Tapi dukanya lebih panjang.
Mereka kerap menjadi sasaran amarah dan kebencian masyarakat. Tak jarang dihadapkan pada situasi berbahaya diserang saat menjalankan tugas. Banyak yang bekerja tanpa jaminan keamanan, tanpa perlindungan hukum yang jelas. Padahal mereka hanya menjalankan perintah, bukan pembuat kebijakan.

Belum lagi stigma sosial. “Si mata elang” sering dianggap preman berseragam, seolah tak punya nurani. Padahal tak sedikit dari mereka yang bekerja demi anak dan keluarga, hanya karena sulitnya mencari pekerjaan lain.

Masalahnya bukan hanya pada mereka, tapi pada sistem penagihan yang belum manusiawi. Banyak perusahaan leasing yang lepas tangan, menyerahkan penagihan ke pihak ketiga tanpa pengawasan, menciptakan praktik represif yang merugikan nasabah dan merusak citra profesi.

Sudah waktunya negara hadir. Bukan hanya melindungi konsumen, tapi juga memberikan batas dan regulasi yang jelas bagi profesi debt collector. Agar “mata elang” tak lagi jadi simbol ketakutan, melainkan mata yang tetap tajam namun beretika.

Karena setiap mata, seberapa tajam pun ia memandang, tetap perlu diarahkan oleh hati nurani. (Azis Chemoth)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Telegram
WhatsApp
FbMessenger