OPINITERKINITRENDINGUNGGULANUTAMA

Akankah Mas Rio Belajar Dari Kasus Pokir?

Oleh: Arief Ma’ruf Riscahyono*)

Opini_Gksbasra.id, Beberapa hari terakhir ini, pengadaan mobil dinas di Kabupaten Situbondo, mendapat banyak sorotan. Tentu masyarakat menilai, ada yang jauh lebih penting yang bisa dilakukan Pemkab Situbondo (baca: Mas Rio), dibanding sekadar pengadaan mobil yang hanya bisa dinikmati elit.

Di panggung depan, Bupati Situbondo menyampaikan kepada publik, pengadaan enam mobil dinas untuk forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) yang dua diantaranya untuk Bupati dan Wakil Bupati, sangat penting. Selain menunjang kinerja, Forkopimda juga sebagai brand ambassador yang penampilannya di luar daerah akan dilihat daerah lain.

“Pengadaan enam mobil dinas untuk Forkopimda sudah dianggarkan oleh Pemerintah Situbondo sebelumnya,” tegas Mas Rio, Bupati Situbondo dilansir dari berbagai sumber berita.

Benarkah pengadaan enam mobil dinas hanya sekadar yang disampikan Mas Rio? Menurut penulis tidak sesederhana itu. Hanya sekadar menunjang kinerja dan agar kelihatan keren di luar daerah, bukanlah alasan yang sebenarnya. Faktanya Forkopimda sudah punya mobil dinas.

Penulis melihat pengadaan mobil dinas lebih dari sekadar itu. Mas Rio banyak belajar dari kasus Pokir yang sampai hari ini masih di tangan APH. Pemikirannya, ‘membayar’ di depan jauh lebih murah dibanding ‘membayar’ ketika sudah bermasalah. Bisa jadi itu masukan dari tim hukumnya.

Kasus Pokir, infonya berawal dari sikap abai legislatif pada Forkopimda. Konon sebagai reaksi balasannya, penggunaan anggaran dana pokir anggota dewan diobok-obok pada masa pemerintahan bupati sebelum Mas Rio.

Bahkan berbagai upaya ‘Penyelesaian’ sampai saat ini masih di jalan buntu. Bukan karena APH tidak mau diselesaikan, tapi belum ada jaminan eksekusi ‘penyelesaian’ akan berjalan aman.

Selain ada rencana dari kelompok perlawanan anti korupsi yang akan mengepung APH yang menangani kasus pokir, salah satu LSM yang awalnya diamankan juga mulai mulai tak bisa dipegang lagi.

“Jangankan pengamanan kasus korupsi, kartu prabayar saja ada masa tenggang dan masa kadaluarsanya. Apalagi hanya sepuluh juta rupiah, terlalu murah!” ungkap salah satu tokoh LSM yang kadang-kadang getol menyuarakan kasus-kasus korupsi.

Tak heran jika kabarnya, pimpinan APH marah pada bawahannya. Jaminan keamanan eksekusi yang dijanjikan ternyata bocor. Melayang sudah janji dana penyelesaian yang sudah di depan mata.

Mungkin berkaca dari kasus Pokir, jalan terbaik pengamanan APH adalah dengan “menservice” pimpinannya melalui pintu Forkopimda. Inilah yang penulis sebut suap di depan dengan cara legal.

Alasan pengadaan mobil dinas sudah dianggarkan oleh Bupati sebelumnya, juga bukan alasan yang sebenarnya. Jika pengadaan mobil Alphard bisa dihapus karena pertimbangan efisiensi, mengapa pengadaan enam mobil dinas tidak bisa dihapus? Bagi penulis, penghapusan pengadaan Alphard hanyalah pencitraan. Sementara pengadaan enam mobil Forkominda adalah pengamanan di depan atau suap pra bayar.

Pelajaran penting dari pokir, berat dan capek jika mengabaikan pimpinan APH. Jika tersinggung, mereka bisa meng obok-obok penggunaan APBD. Tak mudah dan tak murah juga mengamankan banyak LSM. Belum lagi sikap pers yang bisa jadi banyak akan menjadi oposan karena gaya komunikasi Mas Rio yang kurang menghargai insan pers. Mereka punya harga diri yang ketika diusik, bisa sangat berisik. Mereka tidak cukup pantas dihardik di depan umum.

Jika memang Mas Bupati Rio, benar benar ingin menjalankan pemerintahan yang bersih, tak perlu takut pada APH. Gunakan semua anggaran pada hal yang jauh lebih penting.

Tapi memangnya ada pejabat publik yang benar-benar bersih? Sekarang ini saja kabarnya, bendahara tidak resmi pemenangan Mas Rio-Ulfi dan donatur pengusaha emas, sudah mulai mengatur proyek-proyek. Biasanya di panggung depan, pejabat publik tampil bersih. Di belakang panggung, ada orang-orang yang mengatur cara berkorupsi.

Bagaimanapun hutang politik harus dibayar. Hutang Tidak selalu dibayar dalam bentuk uang, bisa juga jabatan atau pekerjaan. Di sinilah “tak congocoa, tek ngeco’a” akan diuji.

*)Penulis
Arief Ma’ruf Riscahyono
Pengamat Sosial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Telegram
WhatsApp
FbMessenger